yang mau iklan monggo hubungi saya

CARNIS (Cerpen Manis)


Entah apa yang membuat putra bungsuku begitu rewel malam ini. Usianya yang baru menginjak 5 bulan, tentu tak bisa menceritakan apa yang tengah ia rasakan. Yang kutahu, belakangan dia memang kurang sehat. Beberapa hari yang lalu, aku telah memeriksakannya ke Bidan dan juga Dokter. Analisa mereka sama: hanya demam biasa. Kesehatannya pun mulai membaik. Tapi malam  ini ia tampak gelisah.  Tangisnya tak kunjung reda. Akupun mulai cemas memikirkan kejadian ini. Beberapa tetangga mengatakan, jika hal itu lumrah terjadi pada anak kecil yang akan sembuh dari sakitnya. Hal ini cukup menenangkan hatiku.

Pukul 02.00 dini hari, ia mulai tertidur. Rasa kantuk mulai menyerangku. Mungkin karena kecapekan, akupun tertidur pulas. Hingga adzan shubuh yang membangunkanku. Aku bergegas untuk bangun dan kulihat kondisi buah hatiku. Matanya terbuka. Rupanya ia telah bangun lebih dulu, pikirku. Kemudian aku berniat untuk bercanda dengannya.

“ Indra, sayaang…”. Sambil ku tepuk-tepuk pahanya.

Namun, tak ada respon. Kupanggil berulang-ulang, sambil kugoyang-goyangkan tubuhnya. Tapi ia tetap terdiam. Tak kuasa aku membendung kepanikan. Aku menjerit sambil bercucuran air mata, “Ya allah, Indra… Sadar naak”

Suamiku yang tengah berada di kamar mandi, spontan berlari ke kamar untuk melihat kondisi kami. Seusai menunggu suamiku sholat, kami bergegas membawanya ke rumah sakit. Hati dan pikiranku panik bukan kepalang.  Bahkan aku lupa jika sholat subuh belum kukerjakan. Dua putriku aku titipkan kepada tetangga yang tak sengaja lewat depan rumah. Keduanya memang tak biasa bangun sepetang ini.
Sesampai di Rumah sakit, Indra langsung ditangani oleh tim dokter. Mereka mengatakan jika Indra mengalami kejang.

“Ya allah,,” Suaraku lirih. Tubuhku lemas seketika.

Lantas kami minta agar ditangani oleh dokter dan perawatan terbaik. Tak apalah berapapun biayanya. Yang penting anakku selamat.

Dalam penanganan dokter, air mataku terus saja berlinang. Rasa penyesalanku semakin menyesakkan dada. Bagaimana aku bisa teledor seperti ini. Sekilas terbayang senyumnya, gelak tawanya, tangisnya, hingga rengeknya saat minta susu.  Tak kuasa rasanya melihat anak kecil seusianya harus disuntik berkali-kali, dipasang alat pernapasan, hingga ditempel alat-alat kedokteran yang entah apa itu namanya. Tubuhnya yang begitu gemuk, kulitnya yang putih, matanya belok, lesung pipinya yang begitu menawan, saat ini hanya bisa tergolek lemah di ruang ICU. Koma. 

Aku menunggunya dengan derai air mata yang tak kunjung kering. Suamiku nampak lebih tegar. Entah bagaimana ia bisa setenang ini, padahal kondisi putranya sedang kritis.

Beberapa saat kemudian, hasil lab keluar dan menyatakan bahwa putraku terserang Demam Berdarah.
“Ya Allah ya gustii..” Rintihku.

Penyakit ini memang sering kudengar. Ya, hanya kudengar. Tapi saat ini putraku yang terserang olehnya. Aku tak pernah menyangka jika gigitan nyamuk Aides Aigepty begitu ganas, hingga mampu membuat seseorang tak sadarkan diri.
Kondisinya yang kritis, harus mendapatkan penjagaan ekstra dari para suster. Ada dua suster yang menjaga disampingnya. Bibirku tak pernah putus dari bacaan-bacaan dzikir yang kubisa. Tangannya kupegang, dan berkali-kali kucium pipinya. Air mataku tak pernah kuasa kubendung. Terus mengalir tak henti-hentinya. Suara dentum alat kedokteran menemani setiap detik yang kulewati bersama putra kecilku.

Waktu menunjukkan pukul 13.00. “Apnea-apnea..!!” Teriak suster yang menjaganya. Mereka tampak tergesa-gesa dan bergegas memompa oksigen kedalam paru-paru Indra.

“Ya allah, Apa yang terjadi..?” Aku semakin panik tak karuan.

Istilah Apnea terlalu asing bagiku. Rasanya ingin kucerca segudang pertanyaan kepada para suster itu. Tentang kondisi Indra. Apa yang terjadi padanya. Apa itu Apnea. Segawat apa jika terjadi apnea. Masih bisa sembuhkah putraku. Namun aku tak kuasa. Hanya tangis yang semakin mengucur deras.

Sejenak, para suster dan dokter menangani Indra dengan cekatan. Aku dan suamiku dipersilahkan menunggu diluar. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa. Aku berlari ke musholla. Berwudlu dan sholat. Aku memohon, sangat memohon, untuk kesembuhan Indra.

 “Ya Allah, Ya Rabb.. Selain engkau, tak ada yang berkuasa atas terbit dan terbenamnya matahari. Langit bumi beserta isinya tunduk dalam perintahmu. Jiwa-jiwa ini ada dalam genggamanMu. Kepada-Mu lah tempat kembalinya segala sesuatu. Kini aku tengah kau uji dalam keadaan yang begitu memilukan. Putraku terkulai tak berdaya. Sembuhkanlah ya Rabb.. Kumohon sembuhkanlah.. Tak ada yang kuinginkan selain kesembuhannya.. Kasihanilah hamba ya allah..”

Aku masih terduduk dalam bacaan dzikir, seraya terus berharap ada sebuah keajaiban yang datang pada putraku. Selesai sholat Ashar, aku kembali ke ruang ICU. Melihat kondisi Indra. Rupanya keadaannya sudah tenang. Namun kedua suster itu tetap menjaganya.

Pelan-pelan, aku tanyakan tentang kondisi Indra. Katanya : “ Sabar ya buuk,,  pasrahkan semua kepada Allah”.

Tangisku kembali pecah.

“Ya Allah, Tak adakah harapan buat putraku untuk sembuh..?”

“Ini tadi Apnea buk. Istilahnya lupa untuk bernafas”. Kata seorang suster menambahkan.

Aku terduduk lemas. Kembali kuusap-usap kepalanya. Sambil kubacakan  ayat-ayat al-Qur’an.

Pukul 22.00 Indra kembali drop. Tiba-tiba ia terbatuk dan memuntahkan darah. Suster yang mendampinginya, segera membersihkan. Tak lama kemudian ganti beraknya yang mengeluarkan darah. Rupanya infeksi demam berdarah telah merasuk ke seluruh tubuh hingga mengakibatkan sel darahnya pecah. Untuk itu harus segera dilakukan transfusi darah. Aku kembali berdoa. Memohon dan memohon agar putraku diberi kesembuhan. Malam ini, kami berdua tetap terjaga hingga pagi hari.



Sekitar pukul 10.00 Indra drop lagi. Ia mengalami Apnea beberapa saat. Menurut keterangan dokter, telah terjadi pembekuan darah di pembuluh darahnya. Ditambah terdapat cairan di dalam paru-parunya yang menyebabkan ia sering batuk-batuk. Cairan ini perlu dikeluarkan. Sebuah selang kecil terpaksa dimasukkan melalui lubang hidungnya untuk menyedot cairan yang ada di paru-paru. Disisi lain, Indra sering mengalami Apnea. Dalam kondisi seperti ini, paru-paru dalam keadaan kosong tanpa oksigen. Sehingga dimasukkan pula selang oksigen kedalam paru-parunya melalui mulut.

Menyaksikan kejadian ini, hati dan perasaanku terguncang. Seolah-olah aku tengah mendaki gunung yang tak berpuncak. Melewati lorong yang tak berujung. Atau menyeberangi laut yang tak bertepi. Harapanku tiba-tiba sirna. Apalagi mendengar keterangan dokter yang ‘hampir’ pasrah. Tapi aku beruntung punya suami yang bisa menenagkanku. Meyakinkanku bahwa sesungguhnya kita tak memiliki apa-apa. Begitupun dengan Indra yang hanya titipan.

“Pasrahkan saja kepada yang maha memberi kehidupan.”

Hatiku mulai tenang. Namun kesedihanku seolah tak ada habisnya.

Setelah jam besuk dokter, tiba-tiba suamiku diberi sebuah amplop yang bertuliskan “DOKUMEN RAHASIA”. Ia bersama dokter diajak ke ruangan pribadinya.

Sekembalinya dari ruangan dokter, suamiku tak menjelaskan apa-apa. Bahkan setelah kupaksa untuk mengaku apa yang sebenarnya terjadi, ia tetap bungkam. Aku hanya bisa mengira-ngira bahwa kondisi putraku memang tipis dari harapan.

Setegar apa pun suamiku dihadapanku, ia tak bisa terus menyembunyikannya dariku. Di hadapan Indra, ia menangis. Kesedihanku kini menjadi berlipat-lipat.

Menjelang Adzan Dzuhur, saudara-saudaraku mulai berdatangan. Aku berusaha untuk siap menemui mereka. Aku pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Kulihat wajahku di cermin.

“Astaghfirullah..”

Kedua mataku bengkak. Wajar saja, dua hari ini, tangisku masih saja menganak sungai. Meskipun bibirku mengatakan pasrah, tapi hatiku tetap belum rela.

Mereka, saudara-saudaraku, memberi semangat agar bersabar dan ikhlas dalam menghadapi cobaan ini. Hatiku berangsur tenang. Mereka juga mengingatkanku agar tidak lupa makan. Baru aku tersadar jika dua hari ini aku belum makan apa-apa. Hati dan pikiranku terfokus pada keadaan Indra. Tapi betapapun laparnya perutku dan seberapa banyaknya makanan yang mereka bawa, tak membuatku enak makan. Sepotong roti saja, tak kuhabiskan.

Menjelang adzan maghrib, berangsur saudara-saudaraku pamit pulang. Menyisakan ibu bersama adik bungsuku yang akan menemaniku malam ini. Kemudian disusul adik dan kakak laki-laki tertuaku tiba setelah sholat isya. Malam ini aku merasa lebih tenang, karena banyak yang menemaniku. Bahkan aku sempat tidur selama tiga jam.

Hari ketiga, kondisi Indra mulai stabil. Sehingga tak perlu ada suster untuk menjaganya. Namun ia belum juga sadarkan diri. Para suster menganjurkan agar ia senantiasa diberi perangsang dengan diajak bicara. Hal ini agar menghindari terjadinya apnea.

“Nak, sembuh ya.. Nanti kalau sembuh kita jalan-jalan ke Malang. Bersama mbak Sifa, mbak Alya. Nanti ayah belikan baju baru. Kita main sama-sama.. Indra.. Indra sayaang…”

Mungkin Indra mendengar perkataanku. Dan ikut merasakan kesedihan yang kurasakan.  Ataukah ia tengah merasakan rasa sakit setelah disuntik berkali-kali. Entahlah. Yang pasti tiba-tiba air matanya mengalir. Nafasnya diiringi suara rintihan. Sungguh aku iba melihatnya. Barangkali ada kata-kataku yang membuatnya tak nyaman. Aku segera mengelus dadanya pelan-pelan.

“Mboten sayaang.. Ibu sabar kok disini. Ibu akan menunggu Indra sampe sembuh.. Indra yang kuat ya..”
Fokusku adalah melihat jalannya pernapasan Indra. Jika mengalami apnea, aku langsung berlari untuk memberitahukan suster. Hatiku selalu panik jika terjadi kondisi seperti ini. Seolah-olah aliran darahku berhenti seketika. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Blank..

Hari-hariku dipenuhi dengan rasa cemas dan khawatir. Tapi sungguh, aku tak pernah merasa lelah. Bahkan aku bertekad akan menunggu Indra hingga sembuh. Berapa pun lamanya. Sumbangan Moral dari para keluarga, sahabat, dan tetangga turut andil besar dalam menguatkan jiwaku.

Pada hari ke enam Indra menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Dokter mendiagnosa bahwa masa kritis demam berdarahnya telah usai. Selanjutnya focus pada penyembuhan paru-parunya. Dokter menganjurkan agar segera diberi nutrisi berupa susu. Maklum selama enam hari ini ia hanya mendapat asupan dari infus.

Aku dan suamiku sangat senang melihat perkembangan Indra. Suamiku segera pergi untuk membeli susu dan baju baru yang telah dijanjikan. Aku bersyukur dan terus berdoa agar Indra segera sadar dan lekas sembuh. Tak kusangka tiba-tiba Indra membuka matanya lebar-lebar. Tidak terbilang detik lamanya. Tapi bermenit-menit. Aku girang bukan kepalang.

“Alhamdulillah Ya Allah,,”  Beberapa saat kemudian, ia tertidur kembali. Pukul 15.00 Indra dipindah ke ruang observasi. Nampaknya para suster juga merasa senang atas perkembangan Indra.

Namun taqdir Allah selalu bersifat rahasia. Tak ada yang menyangka perkembangan yang baik itu hanya sementara. Tak kusangka, matanya terbuka lebar itu merupakan yang terakhir kalinya. Pukul 01.00 dini hari Indra kembali drop. Apnea. Kali ini ia sudah tidak bernafas sekitar satu jam lamanya.

Aku lemas. Aku tak berdaya.

“Ya Allah, Ya Rabb. Aku tak sanggup lagi untuk bertahan. Segala daya dan upaya telah aku perjuangkan. Tetapi engkau jualah yang Maha Berkehendak. Aku pasrahkan kepada-Mu Ya Allah. Berikan keputusan yang terbaik untuk buah hatiku. Aku telah ikhlas melepasnya bersamamu..”

Pihak rumah sakit menawarkan jalan terakhir, agar Indra dimasukkan kedalam ruang incubator. Dengan syarat tak ada yang boleh masuk kedalamnya. Namun aku sudah tak yakin usaha ini akan berhasil. Melihat kondisi Indra yang sudah begitu lemah. Kami beserta keluarga sudah pasrah dan ikhlas.
Aku beserta suamiku menunggu disampingnya. Menciumnya berkali-kali dan membelai kepalanya. Wajah Indra nampak begitu berseri dan matanya menutup begitu rapat.

Suamiku tak pernah lepas dari bacaan dzikir. Membisikkan asma Allah ke telinganya. Sesekali ia mengajak Indra bercakap,

“Sayang, kamu sudah hebat sekali. Bertahan sedemikian lama demi ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sudah ikhlas naak. Kamu menghadap Allah dengan tenang ya.. Nanti, jemput ayah dan ibu di Surganya Allah.. Ya nak ya…”

Suamiku menempelkan baju baru yang telah dibelinya di atas tubuh Indra. Betapapun kami ingin tetap menepati janji untuknya. Tangisku pecah. Tiba-tiba dunia ini terasa sangat gelap. Aku jatuh tak sadarkan diri.

Aku berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Indra. Aku dengar ada seseorang yang ahli dalam pengobatan. Rumahnya jauh di puncak gunung. Aku menggendong Indra. Kudaki gunung itu tanpa rasa lelah. Harapanku satu-satunya adalah kesembuhannya. Aku mendaki dan terus mendaki. Hingga sesampai aku dipuncak, tiba-tiba Indra hilang dari dekapanku. Bersamaan ada suara yang menggema.

“Indra adalah milik Allah…”

Kemudian aku tersadar. Air mataku menetes deras. Kulihat saudara-saudaraku sudah berdatangan. Kami semua mendoakan Indra. Hingga akhirnya dokter memfonis bahwa Indra telah benar-benar pulang ke Rahmatullah.


~ Selesai ~

By:"V VT"
Previous
Next Post »