Entah apa yang membuat putra bungsuku begitu rewel malam ini.
Usianya yang baru menginjak 5 bulan, tentu tak bisa menceritakan apa yang
tengah ia rasakan. Yang kutahu, belakangan dia memang kurang sehat. Beberapa
hari yang lalu, aku telah memeriksakannya ke Bidan dan juga Dokter. Analisa
mereka sama: hanya demam biasa. Kesehatannya pun mulai membaik. Tapi malam ini ia tampak gelisah. Tangisnya tak kunjung reda. Akupun mulai
cemas memikirkan kejadian ini. Beberapa tetangga mengatakan, jika hal itu
lumrah terjadi pada anak kecil yang akan sembuh dari sakitnya. Hal ini cukup
menenangkan hatiku.
“ Indra,
sayaang…”. Sambil ku tepuk-tepuk pahanya.
Suamiku yang
tengah berada di kamar mandi, spontan berlari ke kamar untuk melihat kondisi
kami. Seusai menunggu suamiku sholat, kami bergegas membawanya ke rumah sakit.
Hati dan pikiranku panik bukan kepalang. Bahkan aku lupa jika sholat subuh belum
kukerjakan. Dua putriku aku titipkan kepada tetangga yang tak sengaja lewat
depan rumah. Keduanya memang tak biasa bangun sepetang ini.
Sesampai di
Rumah sakit, Indra langsung ditangani oleh tim dokter. Mereka mengatakan jika Indra
mengalami kejang.
“Ya allah,,”
Suaraku lirih. Tubuhku lemas seketika.
Lantas kami
minta agar ditangani oleh dokter dan perawatan terbaik. Tak apalah berapapun
biayanya. Yang penting anakku selamat.
Dalam
penanganan dokter, air mataku terus saja berlinang. Rasa penyesalanku semakin
menyesakkan dada. Bagaimana aku bisa teledor seperti ini. Sekilas terbayang
senyumnya, gelak tawanya, tangisnya, hingga rengeknya saat minta susu. Tak kuasa rasanya melihat anak kecil
seusianya harus disuntik berkali-kali, dipasang alat pernapasan, hingga
ditempel alat-alat kedokteran yang entah apa itu namanya. Tubuhnya yang begitu
gemuk, kulitnya yang putih, matanya belok, lesung pipinya yang begitu menawan,
saat ini hanya bisa tergolek lemah di ruang ICU. Koma.
Aku
menunggunya dengan derai air mata yang tak kunjung kering. Suamiku nampak lebih
tegar. Entah bagaimana ia bisa setenang ini, padahal kondisi putranya sedang
kritis.
Beberapa saat
kemudian, hasil lab keluar dan menyatakan bahwa putraku terserang Demam
Berdarah.
“Ya Allah ya
gustii..” Rintihku.
Penyakit ini
memang sering kudengar. Ya, hanya kudengar. Tapi saat ini putraku yang
terserang olehnya. Aku tak pernah menyangka jika gigitan nyamuk Aides Aigepty begitu ganas, hingga mampu
membuat seseorang tak sadarkan diri.
Kondisinya
yang kritis, harus mendapatkan penjagaan ekstra dari para suster. Ada dua
suster yang menjaga disampingnya. Bibirku tak pernah putus dari bacaan-bacaan dzikir
yang kubisa. Tangannya kupegang, dan berkali-kali kucium pipinya. Air mataku
tak pernah kuasa kubendung. Terus mengalir tak henti-hentinya. Suara dentum
alat kedokteran menemani setiap detik yang kulewati bersama putra kecilku.
Waktu
menunjukkan pukul 13.00. “Apnea-apnea..!!” Teriak suster yang
menjaganya. Mereka tampak tergesa-gesa dan bergegas memompa oksigen kedalam
paru-paru Indra.
“Ya allah,
Apa yang terjadi..?” Aku semakin panik tak karuan.
Istilah Apnea terlalu asing bagiku. Rasanya
ingin kucerca segudang pertanyaan kepada para suster itu. Tentang kondisi Indra.
Apa yang terjadi padanya. Apa itu Apnea.
Segawat apa jika terjadi apnea. Masih
bisa sembuhkah putraku. Namun aku tak kuasa. Hanya tangis yang semakin mengucur
deras.
Sejenak, para
suster dan dokter menangani Indra dengan cekatan. Aku dan suamiku dipersilahkan
menunggu diluar. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa. Aku berlari ke
musholla. Berwudlu dan sholat. Aku memohon, sangat memohon, untuk kesembuhan Indra.
“Ya Allah, Ya Rabb.. Selain
engkau, tak ada yang berkuasa atas terbit dan terbenamnya matahari. Langit bumi
beserta isinya tunduk dalam perintahmu. Jiwa-jiwa ini ada dalam genggamanMu.
Kepada-Mu lah tempat kembalinya segala sesuatu. Kini aku tengah kau uji dalam
keadaan yang begitu memilukan. Putraku terkulai tak berdaya. Sembuhkanlah ya
Rabb.. Kumohon sembuhkanlah.. Tak ada yang kuinginkan selain kesembuhannya.. Kasihanilah
hamba ya allah..”
Aku masih terduduk
dalam bacaan dzikir, seraya terus berharap ada sebuah keajaiban yang datang
pada putraku. Selesai sholat Ashar, aku kembali ke ruang ICU. Melihat kondisi Indra.
Rupanya keadaannya sudah tenang. Namun kedua suster itu tetap menjaganya.
Pelan-pelan,
aku tanyakan tentang kondisi Indra. Katanya : “ Sabar ya buuk,, pasrahkan semua kepada Allah”.
Tangisku kembali
pecah.
“Ya Allah,
Tak adakah harapan buat putraku untuk sembuh..?”
“Ini tadi Apnea buk. Istilahnya lupa untuk
bernafas”. Kata seorang suster menambahkan.
Aku terduduk
lemas. Kembali kuusap-usap kepalanya. Sambil kubacakan ayat-ayat al-Qur’an.
Pukul 22.00 Indra
kembali drop. Tiba-tiba ia terbatuk dan memuntahkan darah. Suster yang
mendampinginya, segera membersihkan. Tak lama kemudian ganti beraknya yang
mengeluarkan darah. Rupanya infeksi demam berdarah telah merasuk ke seluruh
tubuh hingga mengakibatkan sel darahnya pecah. Untuk itu harus segera dilakukan
transfusi darah. Aku kembali berdoa. Memohon dan memohon agar putraku diberi
kesembuhan. Malam ini, kami berdua tetap terjaga hingga pagi hari.
Sekitar pukul
10.00 Indra drop lagi. Ia mengalami Apnea
beberapa saat. Menurut keterangan dokter, telah terjadi pembekuan darah di
pembuluh darahnya. Ditambah terdapat cairan di dalam paru-parunya yang
menyebabkan ia sering batuk-batuk. Cairan ini perlu dikeluarkan. Sebuah selang
kecil terpaksa dimasukkan melalui lubang hidungnya untuk menyedot cairan yang
ada di paru-paru. Disisi lain, Indra sering mengalami Apnea. Dalam kondisi seperti ini, paru-paru dalam keadaan kosong
tanpa oksigen. Sehingga dimasukkan pula selang oksigen kedalam paru-parunya
melalui mulut.
Menyaksikan
kejadian ini, hati dan perasaanku terguncang. Seolah-olah aku tengah mendaki
gunung yang tak berpuncak. Melewati lorong yang tak berujung. Atau menyeberangi
laut yang tak bertepi. Harapanku tiba-tiba sirna. Apalagi mendengar keterangan
dokter yang ‘hampir’ pasrah. Tapi aku beruntung punya suami yang bisa
menenagkanku. Meyakinkanku bahwa sesungguhnya kita tak memiliki apa-apa.
Begitupun dengan Indra yang hanya titipan.
“Pasrahkan
saja kepada yang maha memberi kehidupan.”
Hatiku mulai
tenang. Namun kesedihanku seolah tak ada habisnya.
Setelah jam
besuk dokter, tiba-tiba suamiku diberi sebuah amplop yang bertuliskan “DOKUMEN
RAHASIA”. Ia bersama dokter diajak ke ruangan pribadinya.
Sekembalinya
dari ruangan dokter, suamiku tak menjelaskan apa-apa. Bahkan setelah kupaksa
untuk mengaku apa yang sebenarnya terjadi, ia tetap bungkam. Aku hanya bisa
mengira-ngira bahwa kondisi putraku memang tipis dari harapan.
Setegar apa
pun suamiku dihadapanku, ia tak bisa terus menyembunyikannya dariku. Di hadapan
Indra, ia menangis. Kesedihanku kini menjadi berlipat-lipat.
Menjelang
Adzan Dzuhur, saudara-saudaraku mulai berdatangan. Aku berusaha untuk siap
menemui mereka. Aku pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Kulihat wajahku di
cermin.
“Astaghfirullah..”
Kedua mataku
bengkak. Wajar saja, dua hari ini, tangisku masih saja menganak sungai.
Meskipun bibirku mengatakan pasrah, tapi hatiku tetap belum rela.
Mereka,
saudara-saudaraku, memberi semangat agar bersabar dan ikhlas dalam menghadapi
cobaan ini. Hatiku berangsur tenang. Mereka juga mengingatkanku agar tidak lupa
makan. Baru aku tersadar jika dua hari ini aku belum makan apa-apa. Hati dan
pikiranku terfokus pada keadaan Indra. Tapi betapapun laparnya perutku dan
seberapa banyaknya makanan yang mereka bawa, tak membuatku enak makan. Sepotong
roti saja, tak kuhabiskan.
Menjelang
adzan maghrib, berangsur saudara-saudaraku pamit pulang. Menyisakan ibu bersama
adik bungsuku yang akan menemaniku malam ini. Kemudian disusul adik dan kakak
laki-laki tertuaku tiba setelah sholat isya. Malam ini aku merasa lebih tenang,
karena banyak yang menemaniku. Bahkan aku sempat tidur selama tiga jam.
Hari ketiga,
kondisi Indra mulai stabil. Sehingga tak perlu ada suster untuk menjaganya.
Namun ia belum juga sadarkan diri. Para suster menganjurkan agar ia senantiasa
diberi perangsang dengan diajak bicara. Hal ini agar menghindari terjadinya apnea.
“Nak, sembuh
ya.. Nanti kalau sembuh kita jalan-jalan ke Malang. Bersama mbak Sifa, mbak Alya.
Nanti ayah belikan baju baru. Kita main sama-sama.. Indra.. Indra sayaang…”
Mungkin Indra
mendengar perkataanku. Dan ikut merasakan kesedihan yang kurasakan. Ataukah ia tengah merasakan rasa sakit
setelah disuntik berkali-kali. Entahlah. Yang pasti tiba-tiba air matanya
mengalir. Nafasnya diiringi suara rintihan. Sungguh aku iba melihatnya.
Barangkali ada kata-kataku yang membuatnya tak nyaman. Aku segera mengelus dadanya
pelan-pelan.
“Mboten
sayaang.. Ibu sabar kok disini. Ibu akan menunggu Indra sampe sembuh.. Indra
yang kuat ya..”
Fokusku
adalah melihat jalannya pernapasan Indra. Jika mengalami apnea, aku langsung berlari untuk memberitahukan suster. Hatiku
selalu panik jika terjadi kondisi seperti ini. Seolah-olah aliran darahku berhenti
seketika. Aku tak bisa berpikir apa-apa. Blank..
Hari-hariku
dipenuhi dengan rasa cemas dan khawatir. Tapi sungguh, aku tak pernah merasa
lelah. Bahkan aku bertekad akan menunggu Indra hingga sembuh. Berapa pun
lamanya. Sumbangan Moral dari para keluarga, sahabat, dan tetangga turut andil
besar dalam menguatkan jiwaku.
Pada hari ke
enam Indra menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Dokter mendiagnosa
bahwa masa kritis demam berdarahnya telah usai. Selanjutnya focus pada
penyembuhan paru-parunya. Dokter menganjurkan agar segera diberi nutrisi berupa
susu. Maklum selama enam hari ini ia hanya mendapat asupan dari infus.
Aku dan
suamiku sangat senang melihat perkembangan Indra. Suamiku segera pergi untuk
membeli susu dan baju baru yang telah dijanjikan. Aku bersyukur dan terus
berdoa agar Indra segera sadar dan lekas sembuh. Tak kusangka tiba-tiba Indra
membuka matanya lebar-lebar. Tidak terbilang detik lamanya. Tapi
bermenit-menit. Aku girang bukan kepalang.
“Alhamdulillah
Ya Allah,,” Beberapa saat kemudian, ia
tertidur kembali. Pukul 15.00 Indra dipindah ke ruang observasi. Nampaknya para
suster juga merasa senang atas perkembangan Indra.
Namun taqdir
Allah selalu bersifat rahasia. Tak ada yang menyangka perkembangan yang baik
itu hanya sementara. Tak kusangka, matanya terbuka lebar itu merupakan yang
terakhir kalinya. Pukul 01.00 dini hari Indra kembali drop. Apnea. Kali ini ia sudah tidak bernafas
sekitar satu jam lamanya.
Aku lemas.
Aku tak berdaya.
“Ya Allah, Ya
Rabb. Aku tak sanggup lagi untuk bertahan. Segala daya dan upaya telah aku
perjuangkan. Tetapi engkau jualah yang Maha Berkehendak. Aku pasrahkan
kepada-Mu Ya Allah. Berikan keputusan yang terbaik untuk buah hatiku. Aku telah
ikhlas melepasnya bersamamu..”
Pihak rumah
sakit menawarkan jalan terakhir, agar Indra dimasukkan kedalam ruang incubator.
Dengan syarat tak ada yang boleh masuk kedalamnya. Namun aku sudah tak yakin
usaha ini akan berhasil. Melihat kondisi Indra yang sudah begitu lemah. Kami
beserta keluarga sudah pasrah dan ikhlas.
Aku beserta
suamiku menunggu disampingnya. Menciumnya berkali-kali dan membelai kepalanya. Wajah
Indra nampak begitu berseri dan matanya menutup begitu rapat.
Suamiku tak
pernah lepas dari bacaan dzikir. Membisikkan asma Allah ke telinganya. Sesekali
ia mengajak Indra bercakap,
“Sayang, kamu
sudah hebat sekali. Bertahan sedemikian lama demi ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu
sudah ikhlas naak. Kamu menghadap Allah dengan tenang ya.. Nanti, jemput ayah
dan ibu di Surganya Allah.. Ya nak ya…”
Suamiku
menempelkan baju baru yang telah dibelinya di atas tubuh Indra. Betapapun kami
ingin tetap menepati janji untuknya. Tangisku pecah. Tiba-tiba dunia ini terasa
sangat gelap. Aku jatuh tak sadarkan diri.
Aku berusaha
semaksimal mungkin untuk kesembuhan Indra. Aku dengar ada seseorang yang ahli
dalam pengobatan. Rumahnya jauh di puncak gunung. Aku menggendong Indra. Kudaki
gunung itu tanpa rasa lelah. Harapanku satu-satunya adalah kesembuhannya. Aku
mendaki dan terus mendaki. Hingga sesampai aku dipuncak, tiba-tiba Indra hilang
dari dekapanku. Bersamaan ada suara yang menggema.
“Indra adalah
milik Allah…”
Kemudian aku
tersadar. Air mataku menetes deras. Kulihat saudara-saudaraku sudah
berdatangan. Kami semua mendoakan Indra. Hingga akhirnya dokter memfonis bahwa Indra
telah benar-benar pulang ke Rahmatullah.
~ Selesai ~
By:"V VT"
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon